Search site


AL-FARABI (870 M / 258 H – 950 M / 339 H)

15/04/2010 20:21

 

Abu Nasr Al – Farabi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al – Farabi dilahirkan pada tahun 870 M dan meninggal pada tahun 950 M atau pada tahun 258 H – 339 H. sebagai suatu sistem pembangunan filsafat, Al – Farabi telah membaktikan hidup dan pemikirannya pada masyarakat dunia islam dan tidak terkecuali bagi kaum nasrani dan yahudi. Al – Farabi merupakan seorang philosof muslim yang menjauhi dunia politik, keramaian dan gaungan serta kericuhan masyarakat. Ia telah membuahkan karya dan pemikirannya yang sampai sekarang bangyak dianut oleh masyarakat barat dan timur.

Berbeda dengan kebanyakan sarjana muslim lainnya, Al – Farabi tidak menuliskan sejarah hidupya dan tak seorang diantara murid - muridnya merekam dan melestarikan sejarah tentang hidupnya, seperti yang dilakukan oleh Al – Juzjani yang telah dipersembahkan untuk gurunya, yaitu Ibn – Sina. Sehingga sejarah tentang hidup dan biografi seorang Al – farabi hingga kini masih samar tidak jelas betul dan masih perlu dilkakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam.

Kehidupan seorang Al – Farabi dapat dikategorikan menjadi dua periode, yaitu periode pertama berawal sejak ia dilahirkan sejak usianya beranjak 50 tahun. Informasi yang diterima tentang hal ini adalah bahwa seorang Al – Farabi dilahirkan di Wasij, sebuah desa kecil dekat Farab di transoxiana. Al – farabi terlahir sebagai seorang berkebangsaan Turki dan ayahnya seorang jenderal dan ia pernah bekerja sebagai hakim dalam kurun waktu tertentu. Pada awal abad ke 3 H atau 9 M di Farab sendiri tengah terjadi pergerakan kebudayaan dan pemikiran yang luas dan bersamaan dengan pengenalan islam dan pada saat itu  pula terkenal seorang ahli bahasa Al – Jauhari yang telah menulis buku Al – Shihah, salah seorang yang hidup pada zaman Al – Farabi.

Pendidikan dasarnya adalah keagamaan dan bahasa. Ia mempelajari fiqh, hadist dan tafsir Al – Qur’an. Ia juga mempelajari bahasa Arab, turki dan Parsi. Adalah sangat meragukan bahwa seorang Al – Farabi menguasai bahasa – bahasa lainnya seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Khalikan, Al – Farabi menguasai 70 bahasa. Hal ini ditunjukan dari sebuah penafsiran Al – Farabi tentang kata safsathah (sophistry), tampak jelaslah bahwa ia tidak menguasai bahasa Yunani. Ia tidak mengabaikan manfaat yang diperoleh dari pelajaran – pelajaran rasional yang berlangsung pada massa hidupnya, seperti geometri (matematika) dan filsafat itu sendiri. Berbeda dan bertentangan dengan dugaan kebanyakan orang bahwa Al – Farabi tidak memperhatikan dunia kedokteran. Ketika seorang Al – Farabi terkarik dengan kajian rasional maka ia tidak pernah puas dengan apa yang telah diperolehnya dikota tempat ia dilahirkan. Hasrat intelektual seorang Al – Farabi mendorongnya untuk berkelana meninggalkan rumah dan kota kelahirannya untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Periode kedua, kehidupan Al – Farabi adalah pada massa tua. Bagdhat, sebagai pusat belajar terkemuka pada abad ke 4 H atau 10 M merupakan tempat pertama yang dikunjunginya dan disanalah ia bertemu dengan sarjana – sarjana dari berbagai bidang keilmuan dan diantaranya adalah para philosof dan penterjemah. Al – Farabi pun tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli – ahli logika terkenal di Bagdhat diantaranya adalah Abu Bisyr, Matta Ibn Yusnus lah yang dipandang sebagai seorang ahli logika yang paling terkemuka dizamannya. Untuk beberapa waktu Al – Farabi belajar dari Ibn Yusnus dan berhasil mengungguli gurunya karena pencapaiannya yang gemilang dibidang logika. Guru logika yang kedua yang dimiliki Al – Farabi adalah muridnya yang bernama Yahya ibn Adi.

Al – Farabi tinggal di Bagdhat selama kurun waktu 20 tahun  dan kemudian ia pun tertarik dengan pusat kebudayaan yang lain di Aleppo. Disana, tempat orang – orang pandai dan para sarjana. Istana Saif Al – Daulah berkumpul para penyair, ahli bahasa, philosof dan sarjana – sarjana kenamaan lainnya. Meski ada sebuah simpati kuat kearaban dari istana tersebut, namun ia tidak kerasan (betah) atau prasangka yang dapat merusak suasana intelektual dan kultural yang didalamnya terdapat orang – orang Persia, Turki dan Arab berdiskusi dan berdebat tanpa mencari keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu pengetahuan. Diistana inilah Al – Farabi tinggal dan merupakan orang pertama terkemuka sebagai seorang sarjana dan pencari kebenaran. Kehidupan yang glamour penuh kemewahan tidak mempengaruhinya dan dalam pakaian seorang sufi ia membebani dirinya dengan tugas berat sebagai seorang sarjana dan pengajar.

Ia menulis beberapa buku dan artikel dalam suasana yang menyatu dengan alam, kecuali dalam bebrapa perjalanan singkat keluar negeri Al – Farabi bermukim di Syria hingga wafat 339 M atau 950 H. Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa Al – Farabi mengunjungi mesir hingga akhir hayatnya.

Al – Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan dan buah pikirannya sekitar 70 buah dan sangat kecil bila dibandingkan dengan para philosof lain pada massanya.  Karya – karya Al – Farabi dibagi menjadi dua bagian, satu diantaranya mengenai logika dan yang kedua mengenai hal lainnya. Karya – karyanya tentang logika menyangkut bagian – bagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik yang bentuk komentar meupun uraian panjang. Kebanyakkan tulisan ini masih dalam bentuk naskah dan sebagian besar naskah – naskah ini belum ditemukan. Sedangkan karya – karya kelompok keduanya adlah menyangkut tentang ilmu pengetahuan, filsafat, fisika, metematika, metafisika, etika dan politik. Dan sebagian besar diantaranya telah ditemukan dan memperjelas aspek pemikiran filosofis seorang Al – Farabi. Tetapi sebagian besar lainnya meragukan dan menimbulkan kontroversi, seperti dalam hal Fusus Al Hikam (Permata Kebijaksanaan) atau Al – Mufariqat (Keterpisahan). Didalam ini kelompok studi ilmiah yang sebenarnya tidak dilakukan dan Al –Farabi malah tidak menyinggung masalah kedokteran dan pembahasan – pembahasab mengenai kimia berkecenderungan hanya sekedar mempertahankan pendapat dibandingkan dengan penelitian dan analisis.

Menurut Ibn Khalikan mengatakan bahwa sebagian besar buku dan karya – karya Al – Farabi ditulis di Bagdhat dan Damaskus, hal ini dikarenakan oleh tidak adanya tanda  - tanda bahwa Al – Farabi tidak pernah menulis buku pada usia kurang dari 50 tahun atau sebelum 50 tahun. Seandainya ada tulisan dan karya – karya Al – Farabi sebelum usia 50 tahun itupun hanya berupa theology dan filsafat yang saling bertentangan. Dan beberapa karyanya ditulis dalam 30 tahun terakhir massa hidupnya.

Langgam Al – farabi bersifat ringkas dan tepat, secara hati – hati ia memilih kata – kata dan pernyataan – pernyataan sebagaimana ia secara mendalam memikirkan pendapat – pendapatnya dan pemikirannya serta ungkapan – ungkapannya memiliki makna dan arti yang menghujam. Hal inilah yang membuat Max Harton memberikan komentar panjang – lebar untuk menerangkan risalah kecilnya yang berjudul Fusus Al Hikam. Al – Farabi mempunyai langgam yang istimewa. Al – Farabi menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih sengang dengan hal yang singkat dan ringkas. Al – Farabi condeng pada ajaran esoteris dan berpendapat bahwa filsafat tidak dapat diberikan pada sembarang orang dan seorang philosof harus menerangkan gagasannya yang teka – teki dan bermakna ganda.

Metode yang dipakai hampir sama dengan langgam yang dimilikinya. Ia mengumpulkan dan menggenarilisasikan, ia menyusun dan menyelaraskan,ia menganalisis untuk menulis, ia memilah dan membaginya sehingga dapat dikelompokkan. Dari bebrapa tulisannya pembagian dan penggolongan tampak hanya sebagai tujuan belaka. Risalah yang berjudul “Apa yang harus dipelajari sebelum mencoba filsafat” bentuk indeks aliran – aliran filsafat Yunani, arti judul – judul dan nama pengajarannya. Ia terutama memusatkan diri pada pengkajian dan langgam Aristoteles. Bukunya yang berjudul “Klasifikasi ilmu”merupakan upaya pertama untuk jenis karya ini dalam sejarah pemikiran muslim.

Al – Farabi gemar kebalikkan – kebalikkan dan ia hampir memberikan kebalikkan pada setiap istilah yang digunakannya sehingga penolakan memiliki makna pengerimaan dan pengesahan dan kejadian berarti bukan kejadian. Ia menulis sebuah risalah dan menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukannya. Dalam risalah ini ia memberikan pernyataan yang ia hadapkan dan pertentangkan dengan lawannya dengan tujuan mendapatkan penyelesaian yang baik.

Perhatian utama Al – Farabi ialah menegaskan dasar – dasar teori dan landasan doktrin, mecerahkan dalam kegelapan dan membiarkan masalah – masalah controversial untuk memperoleh kesimpulan yang benar. Ia sedik sekali memperhatikan topic – topic yang dianggap biasa dan apa yang diduganya terbukti dengan sendirinya, ia mengkesampingkan tanpa adanya usaha untuk menjelaskan. Contoh tepat dalam hal ini adalah karangannya yang berjudul “Tujuan Stagirite” yang menghantarkan Ibn – Sina mendapat sebuah kunci risalah “metafisika” Aristoteles.

Karya – karya Al – Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke 4 dan 5 H atau ke 10 M dan 11 M dan mungkin hingga kebarat ketika sarjana – sarjana Andalusia menjadi pengikut Al – Farabi. Beberapa tulisannya telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan Yunani dang telah mempengaruhi sarjana yahudi dan nasrani. Karya – karyanya ini telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir abad ke 13 H atau 19 M dan bebrapa diantaranya telah diterjemahkan kedalam bahasa eropa modern. Tetapi hingga kini masih sangat diperlukan publikasi kembali dengan penyuntingan cermat.