Search site


AYOOOOO SEKOLAHHHHH !!!!

26/10/2010 20:07

Tragis memang ketika terlihat atau terdengar oleh kita anak dari seorang guru tak dapat mengenyam pendidikan layaknya kebanyakan orang dan atau harus berkeliaran dan bermain saat usia sekolah. Tak dapat dipungkiri jika hal ini terjadi dan memang ada disekitar kita atau bahkan terjadi pada saudara dan keluarga kita.

Ternyata baru tersadar oleh ku ketika anak dari seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) ku di Depok tak dapat melanjutkan pendidikan dan bersekolah karena ada faktor keuangan yang tak dapat ditolelir oleh hidup keluarganya. Dan ternyata kali ini, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 2010 seorang teman seperjuangan ku, tepatnya  “guru” begitulah mereka memanggilnya memiliki anak seusia kurang lebih 4 tahun yang ingin bersekolah dan bermain dengan anak seusianya disuatu Lembaga Pendidikan Dini tak dapat memasukan anaknya ke PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan lagi – lagi hal yang sama pun terjadi, yaitu faktor keuangan yang tak dapat berkompromi dengan kebutuhan hidup yang semakin mendesak.

Mahalnya biaya hidup yang semakin mendesak dan harus dirpenuhi yang  nyaris sama dengan kebutuhan pendidikan yang biayanya semakin menjulang tinggi ternyata membuatnya berada dipersimpangan dan harus memilih diantara keduanya yang sangat prioritas.

Hidupkah !!!

atau

Belajarkah !!!

Hidup merupkan suatu anugerah dan penghargaan yang telah diberikan Tuhan dan harus dipertahankan hingga nanti dan sampai nanti serta harus dipelihara baik secara aqidah, moralitas serta intelektualitas. Sedang pendidikan merupakan suatu proses mendewasakan manusia atau dengan bahasa lain memanusiakan manusia. Dengan pendidikan maka kita dapat memelihara anugerah itu.

Masih banyak mungkin kejadian – kejadian serupa disekitar kita, yang tak terpikirkan oleh kita sebelumnya karena mungkin hal seperti ini menjadi biasa yang sebenarnya tidak sangat luar biasa. Bagaimana tidak seorang guru yang kesehariannya bermain dengan konsep keilmuan, karakteristik personal dan siswanya serta dengan psikologis yang dipadukan serta tidak lepas dengan kompetensi yang dituntut ternyata merasa tidak baik dalam memberi pendidikan yang baik bagi anaknya.

Apakah hal ini adil bagi seseorang yang bermain dengan kesemuanya “guru” karena itu adalah pertanyaan sekaligus pernyataan akhir penutup dialog manis senda gurau dan obrolan warung kopi yang menyentuh hati. Dan tak dapat kujelaskan lagi untuk nya, seolah lidah ini kelu, tak dapat berkata – kata layaknya seorang pemuda yang sedang bercinta dan ingin mengungkapkan perasaan hati kepasa kekasihnya.

Sebuah senyum manis pun akhirnya menutup pembicaran kami dengan lemparan sebatang rokok ditangan sebagai palu penutup diskusi panjang yang melelahkan tanpa adanya sebuah solusi pasti.