Search site


Diantara Mencerdaskan Dan Komoditas Sosial

20/04/2010 14:34

 

Persaingan dan perdagagan bebas masih menjadi dilema yang tak bisa dihindari dan dipungkiri lagi oleh bangsa kita “Indonesia”. Bangsa – bangsa asing semakin kuat mencengkramkan kuku – kukunya dinegeri tercinta ini mulai dari sandang hingga pangan bahkan tak luput juga serangan dari sisi sumber daya manusianya dengan mengatasnamakan persaingan demi peningkatan kualitas sumber daya manusia kita.

Dampak positif yang ditawarkan oleh era persaingan bebas ini, yaitu bersaing dan menjadi kuat dengan cara memacu diri kita sendiri demi bertahan hidup baik dengan cara memiliki keterampilan baik umum hingga khusus, pekerjaan dan usaha yang kesemuanya itu dapat dirangkum dalam satu kata belajar “pendidikan”.

Lembaga pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan siap bersaing dengan dunia luar, baik secara psikologis hingga kecerdasan intelektual. Ada tiga ranah yang selalu ditawarkan oleh lembaga – lembaga pendidikan itu sendiri, baik ranah kognitif, afektif hingga psikomotorik. Menurut Ary Ginanjar ketiga aspek yang telah ada telah mencakup tiga kecerdasan yang dapat menghantarkan manusia – manusia pembelajar menuju kesuksesan, yang dapat disebut dengan kecerdasan. Kecerdasan tersebut dapat digolongkan menjadi ; (1) Kecerdasan intelektual (IQ), Kecerdasan emosional (EQ) dan Kecerdasan spiritual (SQ).

Dalam menyikapi hal tersebut maka terjadilah persaingan besar – besaran dalam dunia pendidikan yang pada dasarnya persaingan dalam dunia pendidikan pun telah ada sejak dahulu. Lembaga – lembaga pendidikan selalu memiliki cara dan kiat khusus dalam perekrutan massa “siswanya”. Dengan berbagai fasilitas – fasilitas yang ditawarkan mulai dari kelas dan sarana yang sangat sederhana hingga kelas kusus dan boarding school atau bahkan hingga kelas yang memadukan antara IPTEK dan IMTAQ.

Bahkan dalam menghadapi persaingan bebas maka bermunculah sekolah – sekolah menengah kejuruan yang berorientasi pada dunia kerja dan industri dengan asumsi bahwa lulusan sekolah menengah kejuruan dapat bersaing didunia kerja. Memang benar adanya hal tersebut, tetapi tidak semua siswa sekolah menengah kejuruan dapat mendapatkan pekerjaan dengan mudah (dalam hal ini hukum alam pun berlaku) “dimana siapa kuat dia akan bertahan”.

Tentu saja hal ini disambut baik oleh masyarakat kita dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif tersebut. Mayoritas masyarakat kita bahkan kebanyakan dari kita bersekolah bukan untuk berilmu atau menuntut ilmu, tetapa sekolah untuk bekerja atau mendapatkan pekerjaan. Dari pola pikir seperti itulah maka sebagian besar dari kita mengabaikan aspek – aspek yang sangat mendasar, seperti mengembangkan kecerdasan spiritual atau bahkan mengembangkan kecerdasan emosional, karena kesuksesan dan keberhasilan 80% ditentukan oleh kecerdasan emosional, selain kita juga tidak lepas memperhitungkan faktor keberuntungan “ Faktor X”.

Dari hal itulah secara tidak langsung dan tanpa disadari oleh kita, kita telah membangun generasi – generasi yang prematur, instant dan lemah baik secara aqidah atau keyakinan atau bahkan mentalitas bersaing. Karena setiap tahunnya aka nada banyak lulusan yang dikelurkan baik dari sekolah menengah hingga sekolah tinggi sedangkan lapangan pekerjaan tumbuh tidak sebanding. Disinilah terjadi tawar – menawar harga sesuai dengan daya beli, kempuan dan kualitas produk dagangannya.

Lembaga – lembaga yang bernaung dibawah bendera Tut Wuri Handayani seolah – olah mendapat angin segar dalam mengambil peranan untuk mengolah lahan subur tersebut. Maka bermunculah sekolah – sekolah bak jamur di musim hujan. Keberadaan sekolah / lembaga pendidikan tersebut pada dasarnya telah dibangun oleh paradigm masyarakat itu sendiri dimana sekolah untuk bekerja. Maka hukum ekonomi pun berlaku disini yaitu antara kebutuhan “jasa” yang ditawarkan dengan sejumlah nilai materi.

Ilmu itu mahal bung…

Klise memang ketika seseorang yang ingin belajar dan menuntut ilmu harus dibenturkan dengan kata – kata seperti itu “Ilmu itu mahal bung”, tetapi pada faktanya gaji dan honor tenaga pendidiknya tidak selalu dibenturkan oleh kalimat tersebut. Dengan kata lain ada lobi kebutuhan antara calon siswa dengan lembaga pendidikan dan antara lembaga pendidikan dengan tenaga pendidiknya.

Ya lagi – lagi ada azas manfaat atau lebih halusnya lagi azas kebutuhan yang mau tidak mau kita harus melihat realita yang ada.

Katanya sekolah…

Tapi ko …