Search site


GURU ANTARA STATUS DAN PROFESIONALISME

20/04/2010 14:36

 

Oleh : Asmara Hadi

Guru dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata Sansekerta yang berarti berat, besar, kuat, luas, panjang, penting, sulit, jalan yang sulit, mulia, terhormat, tersayang, agung,sangat kuasa,orang tua (bapak-ibu) dan yang memberikan pendidikan. Seorang guru bukan hanya sebuah profesi tetapi lebih dari itu menjadi guru juga sebuah panggilan suci yang diamanatkan oleh Tuhan. Definisi guru yang baik selalu diuji para pendidik, administrasi pendidikan, dan para guru sendiri serta telah mampu membelajarkan siswanya dengan baik jika guru tersebut mampu memahami karakteristik dan memenuhi kebutuhan masing-masing siswa. akan tetapi sayang beribu saying. Guru zaman sekarang cenderung lebih mengedepankan karir, uang, kedudukan, dan sebagainya, sekarang guru hanya dilihat sebagai profesi semata lebih dari itu guru sebenarnya adalah sebuah profesi mulia karena merupakan amanah/panggilan suci yang diberikan oleh Tuhan yang maha kuasa.

Guru adalah suatu profesi yang didalamnya terkandung tanggung jawab yang besar untuk mencetak generasi muda menjadi generasi terpelajar dan berakhlak mulia. Dalam profesinya guru dituntut untuk memiliki kualitas keprofesionalan dalam mengemban tugasnya, namun dalam menjalankan profesinya guru dihargai sangat rendah. Kurangnya kesejahteraan guru menjadi permasalahan utama yang menjadi penyebab lesunya sebagian guru di tanah air Sebuah status sosial memang diperlukan tetapi bukanlah sebagai tujuan utama yang akhirnya harus mengorbankan anak didiknya, kita sebagai warga bangsa mungkin harus sejenak merenung melihat gambaran guru dinegeri ini. Lihat saja berbagai persoalan yang dihadapi guru-guru Indonesia hampir setiap hari menghiasi media massa dan setiap istirahat mereka santap di ruang koran atau perpustakaan. Gaji dan tunjangan hidup yang rendah, profesionalitas yang semakin luntur, sampai penghargaan dan status sosial guru yang semakin merosot di mata masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, citra dan wibawa guru pada masa kolonial lebih tinggi dibandingkan dengan guru sekarang ini. Masa itu, guru adalah profesi yang sangat diidam-idamkan. Soedarminto (1998) mengilustrasikan seorang ibu guru menerima gaji 40 gulden, padahal seorang inlander hanya perlu segobang (2,5 sen) untuk hidupnya. Tak heran jika sekolah keguruan menjadi incaran lulusan sekolah terbaik. Di samping fasilitas dan kemudahan yang diperoleh, status guru akan membawanya menuju strata atas dalam kelas masyarakat. Tidak sedikit guru yang kemudian sampai di puncak sebagai pimpinan masyarakat. Ironis, jika di masa kolonial seorang guru bisa berpenghasilan 40 gulden sebulan, sementara sekarang guru yang mengharap kenaikan gaji atau tunjangan harus berdemonstrasi ke gedung DPR, mogok mengajar, atau lebih parah lagi harus ngojek atau jadi tukang batu di sela-sela waktu luangnya. Dan, pada saat era reformasi bergulir justru para guru bergaji di bawah UMR, wajar jika kemudian tak ada satu pun dari sekian banyak anak muda di negeri ini secara tegas mengatakan atau setidaknya tidak berniat menjadi guru. Ironisnya lagi, kebanyakan para guru Indonesia merasa sudah cukup puas dengan mengajar di kelas dan tidak berusaha meningkatkan kemampuannya. Akibatnya guru hanya dicap sebagai ‘tukang mengajar’ bukan sebagai pendidik.

Sejarah bangsa ini mencatat para founding fathers negeri ini sebagian besar adalah guru atau setidaknya mengawali kariernya sebagai guru. Sukarno, Presiden pertama RI, pernah menjadi guru semasa pengasingannya di Bengkulu, Mohammad Natsir, Perdana Menteri Indonesia pada masa peralihan, adalah guru dan perintis berdirinya sebuah sekolah di Bandung bahkan Tan Malaka pun pernah menjadi Guru di Tanjungmorawa bagi para buruh yang dipekerjakan secara paksa oleh kolonial belanda di Padang. Tidak dapat disangkal pula di antara tokoh-tokoh itu masih ada RM Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara dan KH Ahmad Dahlan, seorang guru yang kiai. Yang terjadi di negeri ini profesi guru direndahkan dan guru pun tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic need) jauh dari kehidupan layak seperti tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2. Pemerintah memang tidak tinggal diam melihat nasib guru yang sangat tidak manusiawi, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan program sertifikasi dengan format portofolio dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan guru tetapi justru berakibat banyaknya sertifikat ‘aspal’ (asli tapi palsu) karena penilaian hanya didasarkan sistem portofolio bukan sistem kompetensi. Akibat yang lebih fatal lahirnya guru-guru yang hanya mengharapkan sebuah status menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan mengorbankan anak didiknya dan tidak merubah pola mengajar-mendidik (mencatat dan menulis) serta menghilangkan daya pikir kritis anak didik.

Jika dilihat seksama sebenarnya bangsa dan negara ini sudah lemah dan dapat hancur berkeping-keping. Lihat saja, bidang ekonomi yang menunjukkan semakin sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan dasar hidup, kekuatan militer pun sudah dianggap remeh oleh bangsa lain, politik di negeri ini tidak lebih hanya sebagai ajang cari dan bagi-bagi kekuasaan tanpa pernah berpikir kesejahteraan rakyatnya. Terlebih bidang hukum dari mulai Orde Baru sampai saat ini masih tidak tegas dan tegas. Kalau pemerintah menginginkan bangsa dan negara ini maju, maka pemerintah harus lebih memprioritaskan pendidikan dengan meningkatkan kesejahteraan guru didalamnya karena untuk meningkatkan profesionalitas tentu tidak bisa meniadakan faktor gaji dan kesejahteraan. Hendaknya pemerintah bisa belajar dari pemerintah Kuba dan Vietnam yang telah berhasil dalam bidang pendidikan dengan guru yang sejahtera dan profesional dengan pendapatan perkapita yang jauh lebih kecil dari Indonesia.