Search site


Kapur di Tangan Super Man

03/10/2010 17:15

Ingatkah kita dengan Super Man. Tokoh fiktif sang super hero yang memiliki kekuatan super dan dapat terbang layaknya merpati pos pembawa pesan. Ya…memang begitulah sosok super hero yang selalu menolong dan membasmi kejahatan serta membawa pesan perdamaian “secara tidak langsung”. Tetapi kisah itu hanya fiksi belaka dan mungkin tidak akan pernah ada dalam dunia nyata kita.

Yang ada dalam dunia nyata kita adalah sosok Super Man dalam perwujudan lain dan akan tetap ada dari dulu hingga kini dan bahkan hingga nanti. Sosok pahlawan super tersebut tetap membawa misi perdamaian dalam balutan dunia pendidikan yang dengan slogan lusuhnya Tut Wuri Handayani. Dengan pendidikan, selain dapat mencerdaskan dan memberantas buta aksara maka pesan perdamaian pun tersampaikan melalui mediator ini seperti, pertukaran pelajar dan budaya, lomba – lomba internasional “Olimpiade” atau lain sebagainya. Ya..sosok pahlawan super tersebut dikenal dengan sebutan guru. Dan mungkin nama inilah yang akrab ditelinga kita semua. Atau dengan bahasa sedikit heroik dan patriotik adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Guru tanpa sayap layaknya Super Man mampu membawa terbang anak didiknya menjelajahi dunia melalui ilmu pengetahuan dan berimajenasi dalam alam khayalan yang dituangkan melalui konsep – konsep teoritis dan praktis serta melalui perhitungan matematis. Guru pun mampu mentrasnfer energi besar “ilmu pengetahuan”. Karena dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki maka kita dapat menciptakan tokoh kartun yang tak kalah hebatnya dengan Super Man atau bahkan mencipta karangan naratif sains hingga membuat mesin atau bahkan membunuh secara edukatif.

Ternyata ada kesamaan antara guru dan Super Man, selain sama – sama memiliki kekuatan dan membawa misi yang diusungnya. Guru dan Super Man pun mendapat julukan yang sama pula yaitu Pahlawan atau seper hero. Dengan kapur tulisnya yang kini mulai tergantikan oleh spidol, seorang guru mampu memberikan hal – hal terpenting dari sebuah kekuatan fisik, seperti membaca, menulis, berhitung serta berfikir dan menganalisa suatu permasalahan.

Untuk menjadi pahlawan super yang handal serta tak terkalahkan, maka seorang guru kini harus melengkapi dirinya dengan senjata – senjata canggih yang dibutuhkannya. Ya…senjata tersebut adalah kompetensi guru. Dimana kompetensi tersebut mencakup ;

1. Kompetensi akademis.

Kompetensi pada tinggkatan ini adalah kompetensi yang sangat dibutuhkan untuk membawa anak atau peserta didiknya untuk terbang melintasi ruang dan waktu dalam konsep keilmuan. Kompetensi ini pun meliputi (a) Gelar akademis, karena untuk menjadi seorang guru kini, harus memiliki Starta I dan Akta IV, (b) Penguasaan materi pelajaran, (c) Perangkat pembelajaran atau administrasi guru dan masih ada lainnya.

2. Kompetensi Psikologis.

Kompeteni ini pun sangat mendasar sekali perannya dalam pentrasferan ilmu pengetahuan. Karena secara psikologis, jika gurunya terganggu, maka tak akan maksimal ilmu yang diserap anak didiknya. Dengan kata lain seorang guru harus cerdas secara emosional dan menguasai psikologi peserta didiknya

3. Kompetensi Spiritual.

Kompetensi ini tak kalah hebatnya dibanding keduanya, karena kompetensi ini pun mendasari dari peran dan fungsi manusia dalam dunia dan pengakuan terhadap sang Penciptanya. Kompetensi ini lebih dikenal dengan sebutan kecerdasan spiritual.

Itulah senjata – senjata yang menjadi syarat untuk menjadi pahlawah super “guru”. Atau dengan bahasa yang kurang sedikit bersahabat, untuk menjadi seorang guru kini dituntut akan tiga hal tersebut secara fisik dan dalam bundelan laporan tersusun melalui penilaian semu semata.

Tetapi apakah ini pantas, jika semua tuntutan – tuntutan tersebut menjadi suatu kewajiban tanpa adanya pertimbangan lain yang lebih layak atau manusiawi sedikit tentang hak seorang guru “pahlawan tanpa tanda jasa”. Karena sangat tidak logis sekali jika hidup dan kehidupan guru “seorang pahlawan” yang menolong ternyata masih dalam karantina penjajahan secara ekonomi.

Bagaimana tidak dikatakan sebagai bentuk penjajahan hak jika seorang guru bekerja atau mengajar dalam satu bulan kerja ternyata hanya dibayar atau memperoleh penghasilan hanya satu minggu kerja saja. Sehingga banyak dari mereka yang mencari penghasilan diluar jam mengajar atau sepulang mencerdaskan anak bangsa, seperti menjadi tukang ojek, menjadi tukang parkir hingga memulung di tempat pembuangan sampah dan ini relita bung bukan fiktif naratif seperti dalam komik.

Sangat dramatis memang jika penjajahan tersebut ternyata dilakukan oleh mereka – mereka anak negeri dan bangsa sendiri yang telah dibesarkan oleh guru dalam dunia pendidikan.