Search site


Manusia dan Doktrin Tentang Keyakinan

14/10/2010 21:37

Quantcast

Keyakinan yang kebanyakan kita jalani merupakan suatu keyakinan yang diturunkan secara turun – temurun dari orang tua atau pendahulu kita sebelumnya yang beregenerasi pada kita kini dan mungkin pada anak – cucu nanti. Karena mau atau tidak mau serta langsung atau tak langsung setiap orang tua dan para pendahulu kita akan menelurkan sebuah kosep tentang ideologi hingga konsep tentang sebuah keyakinan. Di pungkiri atau tidak, inilah realita yang banyak terjadi dalam tatanan masyarakat dan kultur budaya kita. Dimana orang tua layaknya seorang dalang yang memiliki otoritas penuh terhadap anaknya tanpa si orang tua tersebut sempat dan mau berfikir tentang makna sebuah hati dan pikiran seorang anak. Setiap manusia yang terlahir sebagai khalifah dan hidup dengan hati dan pikirannya masing – masing.

Berbicra tentang keyakinan, maka tidak dapat dilepaskan dari doktrin – doktrin dan dogma yang membelunggu serta membalutnya dalam konsep sebuah agama dan budaya kita. Dan berbicara mengenai agama, maka kita harus melihat definisi universal tentang pengartian agama itu sendiri. Dimana agama berasal dari kata A yang berarti tidak dan GAMA yang artinya adalah kacau balau, hancur, chaos, dan lainnya yang berkonotasi negatif. Sehingga agama terlahir memiliki peran dan fungsinya agar manusia tidak kalau – balau dalam menjalani hidup dan kehidupannya.

Selain itu kita pun harus membedakan garis besar tentang agama secara hakikat. Dimana agama dibedakan menjadi dua, yaitu ;

1. Agama Samawi atau Arrat yang kita kenal sebagai agama TUHAN, agama ini diberikan oleh tuhan kepada hamba-NYA yang disampaikan melalui sang pembawa pesan “wahyu” yang kita kenal dengan sebutan ”MALALIKAT” kepada utusannya atau yang dikatakan sebagai RASUL.

2. Agama Kebudayaan atau Culture Religion, yaitu agama yang aturan mainnya dibuat oleh kita “manusia” melalui cipta, karya dan karsa atau budi pekerti dengan tujuan sama, yaitu pengakuan dan kepasrahan terhadap Zat yang memiliki kekuatan tunggal pengatur semesta raya ini. Dengan kata lain, agama yang dihasilkan dari prosesi hidup dan olah bathin si manusiannya dan hingga kini diturunkan secara genetis pada generasi – generasi berikutnya dan mungkin termasuk kita.

Pada dasarnya semua agama itu baik dan dengan tujuan yang baik pula, yaitu penyerahan diri atas keagungan sang tunggal sebagai radja diatas segala radja penguasa alam semesta yang menguasai semesta beserta ciptaan-Nya tanpa adanya kelemahan dalam diri-Nya.

Begitu pula tentang konsep dasar sebuah keyakinan adalah pengakuan atas sebuah Hak yang Khalik yang diyakini sebagai pencipta alam semesta ini beserta isinya lengkap dengan kita “manusia dalam batasan seorang hamba”. Dan atas hal inilah, maka terlahir suatu dogma – dogma atau doktrin – doktrin yang terlahir dan memang harus dilahirkan tentang sebuah agama yang dapat dijadikan aturan main serta landasan dalam beragama, seperti adanya hari akhir dan pembalasan, dimana pada hari itu semua manusia dikumpulkan dalam satu titik untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya selama hidup. Adanya hal – hal baik yang digambarkan dengan alam kenikmatan tanpa batas atau bahkan sebaliknya, danya makna tentang teori sebab dan akibat yang dibalut dengan nama dosa dan pahala, makna sebuah kesucian dan ritualisasi yang dijalani hingga pengaplikasian tentang konsep ketuhanan.

Keterbatasan yaang dimiliki manusia yang terbelenggu dalam bentuk panca indera untuk menjangkau hal yang bersifat irrasional dan tak terdefinisikan inilah yang akhirnya harus mengakui adanya Tuhan atau adanya sebuah kekuatan ghaib serta unsur magis yang mempengaruhinya. Sebagai contoh, dahulu, jika terjadi letusan gunung, maka penduduk yang tinggal disekitar gunung menganggap gunung yang memberinya kesejahteraan sedang murka atau marah pada penduduk sekitar sehingga dilakukannya persembahan kepada gunung tersebut dengan tujuan gunung tersebut setelah dikramatkan atau disucikan akan memberi berkah kepada penduduk yang tinggan disekitarnya. Atau bahkan pada laut, pohon tua yang besar dan lain sebagainya. Pada dasarnya hal tersebut dilakukan karena apa yang dialami penduduk sekita gunung memiliki keterbatasan pemikiran dan belum adanya teknologi yang memadai untuk meneliti faktor penyebab terjadinya letusan gunung tersebut. Tetapi kini dengan adanya teknologi yang canggih, maka faktor yang menyebabkan terjadinya letusan gunung dapat diteliti hingga gejala – gejala gunung tersebut akan meletus. Tetapi hal yang sudah menjadi sebuah ritualisasi yang telah dilakukan sejak lama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat kita kini. Karena dengan adanya teknologi yang canggih pun tetap tidak dapat mengidentifikasi adanya unsur ghaib yang dapat menggambarkan tentang konsep tuhan. Yah lagi – lagi karena keterbatasan yang dimilki oleh manusia atau mungkin karena Tuhan tidak ingin ada seorang pun yang dapat menebak teka – teki silang yang digulirkan pada hamba-Nya didunia ini.

Keterbatasan yang dimiliki kita “partikel kecil yang mewarnai semesta” inilah yang mendorong lahirnya sebuah keyakinan hingga kini lengkap dengan doktrin serta aturan main atas tauhidiyah, moralitas atau hubungan terhadap sesama, hukum akhir yang tak pernah kita ketahui atau mungkin dengan konsep tauhid tingkat tinggi disebut dengan keikhlasan dan kepasrahan tanpa batas. Yah itulah yang sering disebut – sebut dalam sebuah mimbar diskusi keagamaan dan ceramah umum yang diberikan.

Adanya pengakuan tehadap ke-Esa-an Tuhan dengan dasar agar memperoleh keselamatan dalam hidup, penyerahan diri atas kelemahan yang kita miliki, menjaga keseimbangan antara nafsu, ambisi melalui proses ritualisasi tersendiri serta adanya hukum sebab – akibat yang selalu didendangkan oleh para pendahulu dan orang tua kita bahkan mungkin oleh kita nanti pada anak – cucu kita secara tidak langsung kita pun telah menelurkan konsep sebuah keyakinan lengkap dengan doktrin dan dogma yang kita anut dengan tujuan agar anak – cucu kita mengikuti jejak derap langkah kaki kita dalam berkeyakinan. Tanpa adanya sebuah paksaan dan dengan keikhlasan yang terpaksa sertra tanpa adanya sebuah pertanyaan kecil yang dapat mengelitik tenlinga orang tua dari seorang anak mengapa kita harus menganut sebuah agama A atau agama B. Karena anak pun memiliki nalar yang terasah secara alami tentang konsep sebuah agama dan keyakinan, yaitu jika kita bertanya hal seperti itu nanti dapat membuat murka orang tua dan berdosa…